WELCOME 3:)

LETS ROCK WITH THE WORLD
MAKING WORLD KNOW WHO US
and SHOWING REASON for OUR EXISTENCE

Total Pageviews

Friday, June 22, 2012

Cerpen Tentang "Surat Buat Presiden"

Kalau ini cerpen yang niatnya diikutkan lomba, tapi udah lewat tenggat waktunya

Surat untuk Indonesia



Pagi ini seperti biasanya Kholid duduk di ruang keluarga yang berada tepat di tengah rumahnya. Dengan ditemani oleh secangkir kopi panas yang dibuat oleh istrinya pagi ini kholid menonton Televisi dengan tenangnya. Tayangan yang ia buka merupakan tayangan favoritnya yaitu berita pagi.



Tidak habis bosan dia melihat berita itu, walaupun hatinya mengatakan, “pasti ini yang akan keluar”, namun dia tetap membetahkan dirinya untuk menonton tayangan itu. Berita korupsi, kelalaian anggota DPR pada saat sidang, unjuk rasa, kekerasan, pembunuhan, harga kebutuhan pokok yang terus meningkat dan masih banyak lagi adalah hal yang terus menghiasi layar kacanya. Dalam hal seperti ini hatinya terus berteriak “Indonesia, kapankah engkau berbenah”.



Akhirnya pagi itu dia berangkat menuju sekolahnya, SMAN 45 Makassar. Kholid merupakan seorang guru Bahasa Indonesia di sekolahnya. Dia merupakan guru yang baik dan disenangi oleh muridnya. Tidak ada hal yang membuatnya sangat kesal selama ini.



Pelajaran hari ini adalah tentang, pentingnya sastra dalam kehidupan sehari-hari. Hari ini dia mengajar di kelas IX-B. Materi ini merupakan materi favoritnya setiap tahun, maka dia akan sangat semangat mengajarkannya. Akhirnya dia pun siap memulai pelajaran hari ini.

“Assalamualaikum anak-anak”

Kata Kholid setelah masuk kedalam kelas dan berdiri di dekat meja.



“Waalaikumsalam Pak”

Jawab anak-anak serentak.



Setelah anak-anak menjawab Kholid melihat keseluruhan kelas untuk memastikan semua anak hadir di kelas hari ini. Secara sekilas dia melihat semua hadir, namun ketika dia mencoba melihat dengan lebih detail, Dia melihat adanya kejanggalan. Ada satu kursi yang terlihat kosong. Kursi itu letaknya paling belakang, dan dia sudah hafal itu kursi siapa. “Andi”.



Siapa yang tidak kenal dengan Andi, seorang anak-anak yang namanya sering menjadi perbincangan hangat para guru setiap harinya. Mulai dari dia yang gossipnya seorang anak geng motor, pernah memukul temannya hingga berdarah, serta sering bolos sekolah.



Selama ini bagi Kholid perbincangan tentang Andi yang kurang baik tidak dia jadikan sebagai masalah selama Andi selalu baik ketika dia yang memberikan pelajaran. Namun hari ini dia mulai kesal, bukan hanya kesal biasa, bahkan sangat kesal. Hal ini dikarenakan Andi merupakan satu-satunya siswa yang bolos pada materi favoritnya.



****



Esok paginya seperti biasa dia duduk di depan TV untuk kembali menonton berita. Berita yang itu-itu saja tetap merupakan berita yang menghiasi layar kaca Indonesia. Setelah selesai menonton seperti biasa di pergi kesekolah, hari ini dia juga mengajar Bahasa Indonesia di kelas IX-B, namun materinya tidak sama seperti yang sebelumnya. Materi kali ini adalah tentang EYD.

Setelah dia selesai memberi pelajaran, dia menyuruh Andi untuk berdiri.

“Andi, berdiri.”

Andi pun langsung berdiri.



Hari ini Andi masuk kelas seperti biasa, tidak seperti kemarin dimana dia tidak hadir tanpa keterangan apapun.

“Kenapa kemarin kamu tidak masuk?”

Pak Guru bertanya dengan masih sedikit memiliki rasa kesal. Andi diam tidak menjawab.



“Saya tau kamu itu siswa yang cukup bermasalah Andi, namun saya tidak mau kamu bolos dari pelajaran saya. Kemarin itu adalah materi yang sangat penting untuk kalian. Yaitu tentang sastra dalam kehidupan sehari-hari. Itu materi yang sangat berguna bagi kehidupanmu. Memang kamu tau apa manfaat sastra dalam kehidupan sehari-hari."

“Tau pak, untuk mengirim surat.”

“Ya benar, tapi bukan cuma itu. Kamu tau yang lain?”

“Enggak pak”

“Makanya, lain kali kamu datang di jam saya. Jangan malah tidak hadir tanpa kejelasan. Jadi sastra itu dalam kehidupan sehari-hari memiliki banyak manfaat. Selain untuk berkirim surat, dapat juga untuk membuat puisi, melamar kerja, membuat laporan, berita, karya tulis, essay, makalah. Serta dapat juga untuk mengubah suatu pemikiran. Kamu mengerti?”

“Andi mengangguk.”

Hati Kholid mulai lunak kembali



****



Minggu depannya di hari Senin, Kholid tidak menonton TV. Hatinya sudah jenuh dengan berita tentang masalah-masalah di negeri ini yang akhir-akhir ini meningkat dengan drastis. Dia memutuskan untuk berangkat lebih dahulu. Dia pamit dengan istrinya, lalu keluar. Dalam perjalanan hatinya bergumam.

“Andai ada yang bisa menyampaikan perasaan kita para rakyat tentang semua ini, pasti pemerintah akan menjadi lebih baik.”



Hari itu pada jam pelajaran Kholid, lagi-lagi Andi tidak masuk. Hati Kholid yang tadinya sudah tenang mulai bergemuruh kembali. Hatinya sudah merasa benar-benar dipermainkan. Dia menarik nafas. Menghembuskannya. Lalu dia memulai pelajaran kembali dengan hati yang coba ia tenangkan.

Esoknya di jam pelajarannya, dia kembali menanyakan hal yang sama kepada Andi.



“Kemarin kamu kemana?”

Sunyi, sepi, senyap.

“Kamu benar-benar mulai mencari permasalah dengan saya kalau begini. Kamu masih mau ikut pelajaran saya gak?”

Tanya Kholid mengancam.

“Masih pak.”

Andi menjawab dengan suara yang sepertinya sangat pasrah dan ketakutan.

Mendengar jawaban yang demikian, hati Kholid menjadi lunak kembali.

“Baik, Andi, kali ini kamu bapak maafkan, tapi ini terakhir kali ya Andi, untuk selanjutnya kamu tidak boleh seperti ini lagi?”

“Baik pak, terima kasih.”



Sesampainya dirumah, Kholid terlihat benar-benar pusing. Dia sangat lelah dengan kelakuan muridnya yang satu itu. Untuk meredakan stresnya dia mengghidupkan TV. Ketika dia menghidupkan TV yang tampak di layar kaca langsung berita. Setelah mendengarkan berita, stres Kholid malah makin bertambah. Melihat negeri ini yang makin amburadul, disertai dengan tingkah laku muridnya yang benar-benar tidak dimengerti membuat hari ini benar-benar menjadi hari yang berat bagi Kholid.



Istrinya yang melihat Kholid sangat terkejut dengan keadaan Kholid yang terlihat sangat stres. Istrinya pun langsung menyarankan Kholid untuk beristirahat.

“Sayang, kayaknya kamu kelihatan sangat lelah, sebaiknya kamu tidur dahulu.”

Kholid mendengar ucapan istrinya dan memilih untuk mengiyakannya, ia pun segera bergegas untuk tidur.



****



Minggu depannya di hari yang sama, hal yang tidak diinginkan kembali terjadi. Andi tidak ada di kursinya lagi. Melihat hal ini Kholid sudah benar-benar tidak tahan. Dia merasa muridnya ini benar-benar telah mengabaikannya.

Esoknya Di dalam kelas Kholid tidak lagi menyuruh Andi berdiri dan menegurnya. Andi yang semenjak dari awal jam pelajarannya sudah seperti bersiap untuk dimarahi dan ketakutan merasa heran dengan sikap dari Kholid. Andi pun merasa senang melihat dia tidak dipanggil.



Pada saat jam Istirahat, ketika sedang asyiknya jajan di kantin, Zufron teman Andi datang menghampirinya.

“Andi, kamu dipanggil Pak Kholid ke kantor.”



Wajah Andi yang tadi telah senang kembali menjadi gelisah. Dia tidak memiliki pilihan apapun saat ini. Dia harus ke kantor untuk bertemu Pak Kholid.

Setibanya di kantor, mereka berdua pun bertemu.

“Andi, kamu tau kan alasan saya memanggil kamu kesini.”

“Ya Pak.”

Andi menjawab sambil menunduk.

“Sebelumnya kamu ingin mengutarakan pembelaan.”

Andi hanya terdiam.

“Saya ingin bertanya terlebih dahulu. Kamu dengar-dengar merupakan anak yang cukup bermasalah ya, apa betul?”

Andi masih terdiam.

“Guru-guru disini sering membicarakan kamu tentang kamu anak geng motor, pernah memukul teman hingga berdarah, serta sering bolos sekolah.”

Andi masih terdiam. Dia sudah tau tentang pembicaran mengenai dirinya dari Zufron. Ayah Zufron adalah seorang guru disekolah ini dan ayahnya pernah menanyakan tentang kebenaran dari hal tersebut pada Zufron.

“Kamu mau bicara?”

Andi masih diam.

“Pok!”

Kholid memukul mejanya. Dia sudah sangat tak tahan lagi dengan kelakuan muridnya ini. Tidak datang tiga kali tanpa keterangan, lalu kini ketika ditanya malah membisu.

“Be, be, begini pak.”

Kata Andi terbata-bata dengan wajah yang sangat ketakutan.

“Begini apa?”

Tanya Kholid dengan suara yang keras.

“Kalau masalah geng motor, itu tidak seperti yang bapak pikirkan.”

Andi mulai berani berkata.

“Lalu bagaimana Andi?”

Tanya Kholid dengan nada kesal.

“Saya sedang menghemat uang jajan, jadi saya akhir-akhir ini pulang sekolah tidak naik angkot, tapi dijemput teman-teman saya.”

“Teman kamu anggota geng motor?”

“Bukan gitu pak, teman saya kalau pulang sekolah selalu bergerombol, makanya kelihatan seperti anggota geng motor.

“Oh”

Pandangan buruk Kholid pada muridnya ini sedikit berkurang.

“Kalau masalah memukul teman?”

“Waktu itu saya sedikit ada masalah dengan teman saya, lalu dia mau memukul saya. Saya mencoba menghindar, akhirnya malah tangan teman saya membentur tembok dibelakang saya, lalu tangannya berdarah.”

Kholid mengangguk, dia penasaran dengan masalah yang terakhir.

“Kalau tentang bolos sekolah?”

“Kalau itu waktu itu saya terkena cacar. Makanya tidak masuk dalam waktu lama.”

“Kenapa tidak memberi surat sakit?”

“Oom saya yang diluar kota dokter, Ibu saya menanyakan obat dengan menelpon oom saya. Obatnya diambil di apotik dekat rumah, itu apotik tetangga, jadi dia memaklumi memberikan obat tanpa resep, tapi asalkan benar obatnya merupakan permintaan dokter. Oleh sebab itu saya tidak dapat membuat surat sakit. Saya bukan orang kaya pak”

Mendengar jawaban itu Kholid sudah tidak emosi lagi, kini dia tau bahwa pembicaraan yang sering terdengar selama ini hanya gossip belaka. Muridnya tidak seburuk yang terdengar, bahkan, dia terlihat seperti anak yang baik.

“Oh, kalau gitu bagaimana dengan bolos di jam saya di hari yang sama 3 kali berturut-turut?”

“Itu....”

“?”

“Saya sedang menulis surat pak.”

“Menulis surat butuh bolos?”

“Itu surat yang penting pak, saya untuk mebuatnya harus mencari kata-kata yang baik di pagi hari, karena hanya pada saat pagi hari otak saya benar-benar jalan.”

“Kenapa tidak hari sabtu atau minggu?”

“Saya kerja paruh waktu pak di warung makanan tante saya kalau dihari itu.”

“Lalu butuh 3 hari?”

“Ini surat sangat penting pak. Saya butuh waktu yang lama untuk menyiapkannya.”

“Kenapa harus di hari senin?”

Kali ini Andi agak sulit menjawab. Tapi dia memberanikan diri.

“Karena waktu itu ibu saya tidak ada dirumah”

“Jadi kamu tidak pergi sekolah tanpa sepengetahuan ibumu?”

“Iya pak.”

Kholid merasa makin bingung surat apa yang ditulisnya. Kholid bertanya lagi.

“Ibumu kemana?”

“Ibu saya terkena penyakit kencing manis pak. Hari senin pagi waktu dia untuk berobat ke dokter.”

“Oh. Lalu uang yang kamu kumpulkan selama ini untuk apa?”

“Pengobatan Ibu saya Pak.”

“Kenapa harus kamu ikut-ikutan untuk mencari uang, memang pekerjaan ayah kamu apa?

“Ayah saya sudah lama meninggal pak.”

Kholid benar-benar kehabisan kata-kata mendengar jawaban tersebut. Kini Kholid tau bahwa anak yang dihadapannya adalah anak yang luar biasa. Semua pemberitaan miring selama ini tentang dirinya hanya kesalahpahaman yang meluas.

“Lalu surat kamu sudah siap kan?”

“Sudah pak.”

“Boleh tau buat siapa?”

“Maaf pak, enggak boleh.”

“Baik sekarang kamu boleh kembali. Tapi karena surat kamu sudah selesai, kamu tidak akan bolos lagi kan di jam pelajaran saya.”

“Iya pak. Permisi pak.”

Andi meninggalkan ruangan.

Setelah Andi pergi Kholid menyadari tentang hal yang sangat luar biasa yang dilakukan muridnya. Kini Kholid tau bahwa siswanya ini merupakan siswa yang baik, kecuali masalah bolos hanya untuk menulis surat. Dia juga masih sangat penasaran surat apa yang ditulis oleh Andi dan untuk siapa.



Sesampainya dirumah, Kholid langsung terkurai lemas di sofa ruang keluarga. Seperti biasanya dia langsung menghidupkan TV. Berita kembali menghiasi layar kacanya dan dia juga sudah tau apa yang akan ada disana. Setelah habis menonton hatinya kembali bergumam.

“Pemerintah, tahukah kamu tentang perasaan kami.”



****



Akhirnya minggu depan Andi sudah kembali masuk dengan rutin di jam pelajarannya. Kholidpun sudah dapat bernafas lega bahwa masalahnya telah hilang. Setelah selesai mengajar, dia langsung pulang dengan tenang. Langkahnya ringan. Sesampainya dirumah dia membuka televisi. Lalu disana ada berita seperti biasa. Selesai pemberitaan, pembawa acara mengatakan tayangan selanjutnya adalah pidato kenegaraan Presiden. Dia baru ingat kembali kalau hari ini kabarnya Presiden akan melakukan pidato di Istana negara.



Akhirnya kini sudah masuk ke tayangan tentang pidato kenegaraan Presiden. Kholid sudah siap mendengar baik-baik di sofa dengan diteman istrinya.



Pidatopun dimulai.

“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu, salam sejahtera rakyat Indonesia. Puji syukur atas kehadirat Allah SWT.”

Seperti biasa diawali dengan pembukaan. Lalu kini menuju bagian isi.

“Sebelum saya memulai pidato saya kali ini, ada hal yang ingin saya sampaikan.”

Kholid penasaran.

“Ketahuilah seluruh rakyat Indonesia bahwa negeri kita ini sedang diberikan cobaan yang bertubi-tubi. Mulai dari bencana alam, kemiskinan, kenaikan harga minyak dunia dan masih banyak masalah lainnya. Selain itu negeri kita juga mengalami banyak keburukan dalam bidang pemerintahan. Mulai dari DPR yang tidur pada saat rapat, korupsi, serta penyuapan para hakim. Tidak hanya masalah pemerintahanan, masalah juga terjadi pada rakyat Indonesia mulai dari pembunuhan, mabuk-mabukan, narkoba, hingga pemerkosaan.”

Kholid masih mendengar dengan khidmat.

“Oleh karena itu saya ingin menyampaikan sesuatu kepada rakyat Indonesia. Berbenahlah. Janganlah lagi kita melakukan kekerasan, pembunuhan, perampokan, perzinaan, dan mabuk-mabukan. Untuk yang duduk di kursi pemerintah sadarlah. Kita dipilih dari suara mereka, jadi lakukanlah sesuai dengan apa yang seharusnya kita lakukan. Lakukanlah sesuai dengan apa kewajiban kita. Bukan dengan menjadi manusia kotor yang lalai dalam tugas. Bukan menjadi tikus yang memakan uang rakyat.

Saya menyampaikan ini mewakili hati seluruh rakyat Indonesia. Beberapa hari yang lalu ada surat yang masuk ke Istana dan ditujukan pada saya. Saya akan membacakannya sekarang.”



Kholid mulai merasa mungkin ini merupakan sesuatu yang pernah dia tanyakan dalam hatinya sebelumnya.

“Mungkin, mungkinkah?”



Kholid bertanya dalam hati seolah tidak percaya.



Presiden sekarang membacakan surat itu.

“Assalamualaikum Warahmatullahi wabarakatu.

Yth. Pak Presiden.

Saya hanya seorang rakyat biasa pak Presiden. Saya hanya ingin mewakili perasaan rakyat Indonesia melihat bangsa ini.

Hati kami sakit pak Presiden, hati kami malu dengan negara ini. Jika dibandingkan dengan negara lain, negara kita benar-benar menyedihkan.

Kita asyik bertengkar satu sama lain, kita asik menfitnah satu sama lain. Pembunuhan dimana-mana. Unjuk rasa dimana-mana. Kekerasan, pemerkosaan, penzinahan dan mabuk-mabukan menjadi identitas kita.

Di sisi lain, pemerintah, lebih mengecawakan lagi. Padahal mereka telah kami pilih, tapi mereka malah seenaknya tidur ketika rapat tentang aspirasi kami. Mereka dengan mudah melakukan korupsi pada saat mereka diamanahi untuk mensejahterakan kami. Mereka hanya memikirkan golongan dan partai mereka tanpa mementingkan kami. Yang mereka ketahui hanyalah uang dan politik. Kekuasaan dan kesenangan bagi mereka sendiri. Tapi tidak untuk kami.

Bukankah kalian kami yang telah memilih?. Apakaha kalian lupa dengan janji-janji kalian kepada kami. Apakah kalian lupa dengan apa yang telah diucapkan oleh lisan kalian sehingga kami berani untuk mempercayakan amanah itu kepada kalian.

Tidakkah kalian takut dengan api neraka yang begitu panas? Tidakkah kalian takut dengan hari dimana kalian diminta pertanggung jawaban.

Pertanggung jawaban atas kedustaan kalian, pertanggung jawaba atas daging haram yang tumbuh di tubuh kalian yang berasal dari makanan haram dari uang yang haram.

Setiap hari hati kami sakit melihat berita di TV. Berita tentang korupsi, penipuan, lalai dari tugas, dan keburukan lainnya. Gara-gara kalian begitu rakyat kalianpun jadi sama hancurnya. Pembunuhan, pemerkosaan, mabuk-mabukan, serta pesta narkoba. Padahal harusnya kalian yang memberi contoh kepada kami wahai para pemimpin. Wahai para manusia yang telah kami beri amanah.

Apakah kalian peduli dengan rasa haus anak miskin yang busung lapar. Dengan penyakit yang diderita orang-orang di lingkungan yang kumuh. Apakah kalian peduli dengan makanan yang kami makan sama dengan makanan yang dimakan oleh binatang. Apakah kalian peduli wahai pemerintah?

Ketahuilah wahai pemerintah, nyawa negara ini ada di tangan kalian. Nyawa rakyat kalian bergantung pada seperti apaan kalian memimpin.

Wahai pemerintah, dengarlah permintaanku.

Sadarlah.



Andi

Siswa SMAN 45 Makassar. “

No comments:

Post a Comment

Komentar yang banyak
Kritik dan saran diperlukan dalam pengembangan Blog ini agar menjadi lebih baik